Bis
yang ditumpangi siswa-siswi kelas enam SD Tegalrejo berhenti di Bumi Perkemahan
Mandala. Anak-anak berebutan keluar, ingin segera menikmati pemandangan alam.
Ara,
Beta, dan Caca sangat antusias dengan kegiatan berkemah kali ini. Selain untuk memenuhi
syarat untuk jadi pramuka penggalang, berkemah kali ini juga sekaligus
perpisahan mereka yang sebentar lagi lulus SD.
“Wah,
berkemah sangat menyenangkan, ya!” kata Ara.
“Iya,
betul! Menikmati udara sejuk, jauh dari perkotaan. Selain itu bisa semakin
akrab dengan teman-teman,” timpal Beta.
Setelah
menuju tempat yang telah ditentukan, Ara, Beta dan Caca segera membongkar
barang, lalu bersiap mendirikan tenda. Bertiga mereka, satu regu, bersama
dengan tujuh anak lainnya. Cara membuat tenda sudah dipelajari ketika kegiatan
pramuka di sekolah, maka dengan gesit mereka segera mengerjakannya.
Selesai
membereskan tenda dan menata barang, selain anak-anak yang tinggal untuk
memasak, yang lainnya bertugas untuk mencari kayu bakar dan air, di tepi hutan.
Termasuk Ara, Beta dan Caca.
“Udara
di sini bersih sekali,” kata Ara sambil menghirup nafas dalam-dalam.
“Suasananya
juga tenang dan sejuk!” sahut Caca.
“Eh,
lihat! Ada pohon cemara. Kira-kira berapa tingginya, ya?” Tiba-tiba Beta
bertanya.
“Kok
aku jadi ingat yang diajarkan Bu Amel, tentang kesebangunan. Bisa nggak ya,
kita gunakan teori matematika untuk mengukur tinggi pohon ini?” kata Caca.
“Oiya,
betul! Dengan bantuan satu tongkat, kita bisa coba mengukur tingginya,” kata
Ara.
“Besok,
waktu kegiatan bebas, kita coba hitung, yuk! Aku jadi penasaran, nih!” ajak
Beta yang disambut anggukan Ara dan Caca.
Acara
hari itu berjalan lancar. Dari mulai kuis tentang kepramukaan, pentas bakat,
api unggun, semuanya seru sekali. Acara sebelum tidur juga asyik. Setiap anak sharing impian masing-masing, sehingga
mereka bisa saling berbagi dan memberi saran. Semuanya sangat akrab.
Pagi
tiba. Setelah berolah raga dan sarapan pagi, Kakak Pembina memberikan waktu
bebas selama dua jam untuk menjelajah sekitar. Tidak boleh jauh-jauh dan
sendirian. Masing-masing kelompok setidaknya harus ada tiga orang.
Ara,
Beta dan Caca memanfaatkan kesempatan ini seperti yang sudah mereka rencanakan
kemarin. Bertiga mereka ingin mencoba mempraktekkan teori matematika yang sudah
didapat di sekolah untuk menghitung tinggi pohon cemara.
Di
depan pohon cemara yang akan diukur, mereka mempersiapkan beberapa peralatan.
Tongkat pramuka sisa yang tidak dipakai untuk mendirikan tenda, meteran,
kertas, dan pena.
Ara
menancapkan tongkat tak jauh dari pohon cemara. Lalu sebuah batu diletakkan tak
jauh di belakang tongkat, sejajar dengan tongkat dan pohon cemara.
“Selanjutnya
apa?” tanya Caca.
“Kita
ukur jarak dari batu ke tongkat, lalu ke pohon,” sahut Beta sambil menarik
meteran yang dibawanya. “Nanti mungkin kurang tepat hasilnya, karena kita hanya
pakai alat seadanya. Tapi seru juga mencoba menghitung dengan mempraktekkan apa
yang sudah kita dapat di sekolah.”
Berdua
Ara dan Caca mengangguk setuju. Sama antusiasnya dengan Beta.
“Jarak
batu ke tongkat 200 cm. Jarak tongkat ke pohon 300 cm. Sedangkan panjang
tongkat pramuka 150 cm. Kalau digambar jadi seperti ini,” kata Caca sambil
menunjukkan gambarnya.
“Kondisi
ini disebut sebangun karena sudut-sudut yang bersesuaian sama besar dan panjang
sisi-sisi yang bersesuaian mempunyai perbandingan yang sama,” jelas Beta. “Nah,
kita sudah tahu panjang tongkat dan jarak antara batu, tongkat dan pohon. Karena
itu, kita akan bisa menghitung tinggi pohon.”
“Yak,
betul. Sekarang tinggal kita hitung dengan rumus perbandingan,” sahut Ara mulai
mencorat-coret di kertas.
“Wah,
bisa begitu ya. Seru sekali yang kalian lakukan!” Tiba-tiba Kakak Pembina sudah
berdiri di belakang Ara, Beta dan Caca. “Lalu berapa tinggi pohon cemaranya?”
“Tiga
ratus tujuh puluh lima sentimeter, Kak!” kata Ara, Beta dan Caca serempak.
“Wah,
kompak!” sahut Kakak Pembina sambil tertawa. “Tapi waktu istirahat sudah habis.
Ayo kalian harus segera kembali ke tenda untuk berkemas pulang.”
“Siap,
Kak!” sahut Ara, Beta dan Caca riang.
**Selesai**